Pemberitaan Media Ramah Anak

PPPA RI Bersama Dewan Pers Sosialisasikan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak

Foto bersama Setelah usai acara Sosialisasi Pedoman Pemberitaan Ramah Anak***
PEKANBARU, (MTN) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak bersama Dewan Pers adakan Sosialisasi Pedoman Pemberitaan Ramah Anak di Riau bertempat di Hotel Novotel jalan riau pekanbaru, Kamis (22/8/019).

Kegiatan dengan tema "Peningkatan Kualitas Pemberitaan Media" dalam acara ini menghadirkan pembicara di antaranya Rini Handayani selaku Staf Ahli Menteri Hubungan Antar Lembaga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Dr Asep Setiawan Ketua Komisi Pemberdayaan Organisasi Dewan Pers.

Pemaparannya Rini Handayani menjelaskan biasanya anak yang selalu dibicarakan usia antara 3 hingga 16 tahun. Padahal yang dinamakan anak itu adalah anak sejak dalam kandungan hingga usia 18 tahun.

"Menjadi visi misi kita bersama membangun SDM yang unggul. Bila semua pihak melakukan perlindungan terhadap anak, maka 10 tahun mendatang SDM unggul akan bisa terwujud," terang Rini.

Lanjut Rini Handayani, kondisi anak-anak saat ini, 2 dari 3 anak perempuan atau 60 persen mendapatkan kekerasan baik kekerasan emosional, fisik dan seksual. Sedangkan untuk anak laki-laki 1 dari 5 anak mendaptakan kekerasan secara emosional.

Namun memang, kekerasan seksual mendapatkan porsi yang masih tinggi. Dan UU perlindungan anak sudah direvisi dengan menambah 3 kategori yang memberatkan hukuman terhadap kasus seksual anak. "Melakukan perubahan terhadap hukum pidana terhadap UU Perlindungan Anak yaitu hukuman mati, seumur hidup dan hukuman tambahan berupa publikasi, pemberian kebiri kimia," papar rini.

Sedangkan untuk kasus kekerasan seksual, jelas Rini lagi banyak dilakukan oleh pihak keluarga. Padahal siapa yamg mendengar, melihat kekerasan anak wajib melaporkan. Sebab bila tidak akan dikenakan hukuman pidana.

Tambah Rini, yang harus dilakukan saat ini adalah anak-anak harus dipenuhi hajatnya. Pemberitaan harus menyeluruh tidak hanya pada kasus anak tetapi juga pada prestasi dan kebijakan terhadap anak.

"Dalam pemberitaan harus memperhatikan kode etik, ada UU perlindungan anak, tapi tetap ada pelanggaran dalam pemberitaan. Seperti masih mencantumkan identitas anak, fakta dan opini yang digabung. Kejadian pemerkosaan ditulis secara fulgar. Ini yang jadi komitmen kita bersama untuk memperbaikinya," tegas Rini.

Dalam kesempatan ini, Ketua Komisi Pemberdayaan Organisasi Dewan Pers Asep Setiawan juga mengatakan, dalam merilis berita tentang kasus anak, identitas anak harus dirahasiakan, baik itu nama anak, nama anak sebagai saksi, nama orang tua juga saksi anak dan alamat. Serta merahasiakan segala sesuatu yang bisa menjurus keingintahuan pembaca terhadap identitas anak.

"Tunjukkanlah sikap empati, simpati, jangan malah anak menjadi traumatik. Dengan merahasiakan identitas anak,  akan melindungi anak. Wartawan jangan memberitakan dengan deskriptif bersifat seksual dan sadistis," jelas Asep.

Wartawan juga lanjutnya, jangan mencari hal-hal yang di luar kapasitas anak. Baik itu berita kematian, perceraian orang tua, kekerasan dan pelecehan. "Anak itu berada dalam perlindungan tidak boleh sengaja menggali-gali informasi," tukasnya.

Meskipun begitu, tambahnya, apabila ada pelanggaran terkait berita perlindungan anak, maka dewan pers akan berusaha memproses sebagai pelanggaran kode etik jurnalistik.

Dalam acara ini selain dihadiri Kemen KPPA dan Dewan Pers juga di hadiri istri wakli Gubernur riau Hj Suti Mulyati Edi Natar dan beberapa pejabat di lingkungan  Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak Prov riau (Red)***
TERKAIT